Maandag 17 Junie 2013

MANFAAT PENGETAHUAN RELUNG TERHADAP AKTIVITAS KONSERVASI

Manfaat pengetahuan tentang relung bagi aktivitas konservasi adalah dapat menetukan tempat yang sesuai dengan relung asli dari hewan yang akan dipindahkan ke tempat konvervasi, mulai dari kisaran temperatur temapat konservasi, makanan, aktivitas yang dapat dilakukan hewan, kelembaban dan lain-lain. Apabila relung buatan di tempat konservasi sudah sesuai dengan relung asli hewan, maka kegiatan konservasi akan berlangsung dengan baik dan keberlangsungan hidup hewan akan terus berjalan.
       Relung ekologi suatu (individu, populasi) hewan adalah status fungsional hewan itu dalam habitat yang ditempatinya sehubungan dengan adaptasi-adaptasi fisiologis, struktural dan pola perilakunya. Sebuah relung bisa menggambarkan kaitan utilitasi (penggunaan) ruang atau spasial, kosumsi makanan, kisaran temperatur, syarat-syarat yang sesuai untuk reproduksi (kawin), kelembaban, dan faktor-faktor lain. Relung tidak sama dengan habitat, tempat dimana suatu organisme tinggal/hidup (Sukarsono.2012).
    


      Salah satu contoh hewan langka yang ada di Indonesia adalah Komodo. Komodo merupakan hewan endemik Indonesia. Habitat asli komodo ada di pulau komodo, Flores. Komodo menyukai habitat savana, sehingga pulau komodo yang seluruh bagiannya berupa savana sangat sesuai dengan relung ekologi komodo. Relung ekologi komodo adalah tempat yang kering dan luas seperti savana. Pada umumnya habitat komodo memiliki suhu rata-rata harian yang sangat tinggi dengan musim kemarau yang panjang. Komodo yang tersebar di beberapa pulau di Nusa Tenggara Timur hidup pada keadaan topografi yang berbukit-bukit dengan ketinggian maksimum 735 mdpl. Susunan vegetasi didominasi oleh padang savana dengan beberapa tegakan pohon tinggi. Keadaan habitat komodo pada semua tempat hampir sama, dengan suhu rata-rata23o-40oC, kelembaban berkisar antara 45-75 % dan ketinggian 0-600 mdpl. Habitat tersebut memiliki topografi sudut kemiringan 10o-40o. Komodo aktif berburu pada siang hari hingga sore hari, tetapi pada saat cuaca sangat panas komodo akan berteduh pada lubang-lubang yang digalinya. Komodo merupakan hewan yang lebih senang menyendiri, hewan ini akan berkumpul dengan anggotanya hanya pada saat makan dan reproduksi. Komodo memakan mangsanya dengan cara mencabik mangsanya dan menelan langsung dagingnya tanpa dikunyah terlebih dahulu. Musim kawin terjadi antara bulan Mei dan Agustus, dan telur komodo diletakkan pada bulan September.Perilaku menyelisik merupakan perilaku komodo jantan menarik betina untuk menjadi pasangan kawin dengan cara menjilat-jilat dan mencium anggota tubuh bagian belakang,menggaruk/meraba sampai menaiki pasangannya.
Keadaan habitat komodo pada semua tempat hampir sama, dengan suhu rata-rata 23o-40oC, kelembaban berkisar antara 45-75 % dan ketinggian 0-600 mdpl. Habitat tersebut memiliki topografi sudut kemiringan 10o-40o (Mochtar. 1992).

(Mochtar .1992. Komodo, the Living Dragon: The Living Dragon. Salem, Or: DiMI Press. ISBN 0-931625-27-0.)
(Sukarsono. 2012. Ekologi Hewan. Malang: UMM PRESS.)


Belajar KONSEP EKOLOGI HEWAN Dapat Menumbuhkan KARAKTER DAN SIFAT SISWA


      Nilai dan karakter yang harus ditumbuhkan pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam ekologi hewan adalah rasa kasih sayang pada hewan. Dengan memiliki rasa kasih sayang terhadap hewan, maka secara otomatis siswa akan mencari tahu semua tentang hewan tersebut termasuk ekologinya.
       Misalnya dengan cara mengajak untuk memelihara kucing yang terlantar di jalanan. Apabila kita memelihara hewan dan menyayangi hewan tersebut, maka kita akan berusaha untuk mencari tahu mengenai relung ekologi dari kucing tersebut yang merupakan salah satu dari konsep ekologi agar kucing kita pelihara dapat hidup dengan baik.

Pengendalian Biologis dengan Hewan bersifat Parasitisme dan Parasitoidesme

          Parasitisme merupakan bentuk pemangsaan yang dilakukan oleh sekelompok hewan parasit terhadap entuk pemangsaan yang dilakukan oleh hewan parasit terhadap tubuh inangnya. Beberapa ciri khas parasitisme adalah tubuh parasit pada umunya jauh lebih kecil dibandingkan tubuh inangnnya, dalam jangka waktu pendek parasit tidak membunuh inangnya tetapi dalam jangka waktu panjang parasit dapat membunuh inangnya tetapi dalam jangka waktu panjang parasit dapat membunuh inangnya, satu ekor parasit pada umumnya hanya menyerang satu ekor inang selam hidupnya, parasit dapat menyerang inangnya dari dalam (endoparasit) dan dapat juga menyerang dari luar (ektoparasit). Sedikit berbeda dengan parasitisme, maka parasitoidisme merupakan bentuk pemangsaan yang sangat khas yang dilakukan oleh sejenis serangga terhadap jenis serangga yang lain.  
        Aplikasi konsep interaksi populasi, khususnya parasitisme dan parasitoidisme, dalam pengendalian biologis contohnya sekitar 20 tahun lalu di Australia, sebuah serangga predator yaitu kumbang vedalia yang memangsa lalat parasitoid sehingga dapat mencegah meledaknya populasi lalat tersebut.


KONSEP-KONSEP DALAM PENENTUAN HEWAN LANGKAH

   

      Konsep kelimpahan, intensitas dan prevelensi, disperse, fekunditas dan kelulushidupan bermanfaat dalam penetapan hewan langka. Penetapan angka hewan merupakan suatu penetapan jumlah kepadatan hewan pada suatu ekositem. Penetepan angka hewan dipengaruhi oleh kelimpahan, intensitas dan prefelensi, dispersi, fekunditas dan kelulushidupan hewan tersebut. Jadi, jika kelimpahan suatu hewan meningkat maka akan  mempengaruhi intensitas dan preferensi. Suatu spesies hewan yang prevalensinya tinggi dapat lebih sering dijumpai sedangkan spesies yang prevalensinya rendah, yang daerah penyebarannya terbatas hanya ditemui di tempat tertentu. Dari intensitas dan preferensi spesies hewan akan membentuk pola pola dispersi yang diantaranya bergerombol, seragam dan acak. Setelah membentuk pola-pola dispersi akan melakukan fekunditas dan setelah itu hewan akan mengalami persaingan hidup untuk mempertahankan angka kelulushidupan hewan.

Cendrawasih khas Indonesia (langkah)
            Kelimpahan populasi suatu spesies mengandung dua aspek yang berbeda, yaitu aspek intensitas dan aspek prevalensi. Intensitas menunjukkan aspek tinggi rendahnya kerapatan populasi dalam area yang dihuni spesies. Prevalensi menunjukkan jumlah dan ukuran area-area yang ditempati spesies dalam konteks daerah yang lebih luas. Suatu spesies hewan yang prevalensinya tinggi (=prevalen) dapat lebih sering dijumpai. Spesies yang prevalensinya rendah, yang daerah penyebarannya terbatas (terlokalisasi) hanya ditemui di tempat tertentu. Dispersi (Dispersion) merupakan pola penjarakan antar individu dalam perbatasan populasi. Pola dispersi meliputi menggerombol yaitu individu-individu hidup mengelompok dalam topok, seragam atau uniform berjarak sama diakibatkan dari interaksi langsung antara individu-individu dalam populasi, acak (random) yaitu penjarakan yang tidak bisa diprediksi, posisi setiap individu tidak bergantung pada individu lain. Frekunditas Secara umum berarti kemampuan untuk bereproduksi. Dalam biologi, frekunditas adalah laju reproduksi aktual suatu organisme atau populasi yang diukur berdasarkan jumlah gamet, biji, ataupun propagula aseksual. Dalam bidang demografi , frekunditas adalah kapasitas reproduksi potensial suatu individu ataupun populasi. Frekunditas berada dibawah kontrol genetik maupun lingkungan dan merupakan ukuran utama kebugaran biologi suatu spesies. Kelulushidupan Kelulushidupan hewan adalah perbandingan antara jumlah individu yang hidup pada akhir percobaan dengan jumlah individu yang hidup pada awal percobaan. Kelulushidupan juga merupakan peluang hidup dalam suatu saat tertentu. Faktor yang mempengaruhinya adalah biotik (kompetitor, parasit, umur, kepadatan populasi, dan kemampuan adaptasi) dan abiotik (sifat fisika dan sifat kimia dari lingkungan).

KONSEP WAKTU PADA HEWAN

Konsep waktu pada hewan poikiloterm berkaitan dengan suhu lingkungan yang memiliki hubungan linear dengan laju perkembangan serangga. Setiap spesies serangga memiliki kisaran waktu dan suhu optimum untuk dapat hidup dan berkembangbiak. Dengan mengetahui konsep waktu, maka kita dapat memprediksi kapan akan terjadi peningkatan populasi serangga yang dapat terjadi setiap tahun. Dengan demikian dapat dilakukan pencegahan terhadap peningkatan populasi serangga yang berpotensi sebagai hama pertanian.

Seperti pada kasus ulat bulu yang menyerang tanaman mangga di Probolinggo tahun 2010 lalu, peristiwa ini tidak lepas dari konsep waktu-suhu dimana peningkatan populasi ulat bulu yang menyerang tanaman mangga terjadi ketika waktu dan suhu lingkungan di Probolinggo sesuai dengan waktu-suhu optimum perkembangbiakan ulat bulu, sehingga laju perkembangbiakan ulat bulu meningkat dengan cepat.
Dalam kisaran yang tidak mematikan, pengaruh paling penting oleh suhu terhadap hewan poikiloterm dari sudut pandang ekologi adalah pengaruh suhu atas perkembangan dan pertumbuhan. Dalam hal ini langsung tampak adanya hubungan linear antara laju perkembangan jika diplotkan terhadap suhu tubuh. Tampak pula bahwa penyimpangan dari linearitas hubungan tersebut pada suhu terendah dapat diabaikan, dan lagi makhluk yang bersangkutan secara tipikal menghabiskan waktu dibawah suhu tinggi non linear.seringkali secara sederhana dianggap bahwa laju perkembangan bertambah secara linear pada suhu di atas ambang perkembangan. Hewan ektoterm atau poikiloterm tidak dapat dikatakan memerlukan waktu yang lamanya tertentu. Yang mereka perlukan adalah gabungan waktu dengan suhu. Gabungan ini sering disebut sebagai waktu-fisiologik. Pentingnya konsep waktu-suhu terletak di dalam kemampuan konsep itu untuk memberikan pengertian tentang waktu terjadinya sesuatu, dan tentang dinamika populasi hewan ektoterm atau hewan poikiloterm (Soetjipta.1993).