Maandag 17 Junie 2013

MANFAAT PENGETAHUAN RELUNG TERHADAP AKTIVITAS KONSERVASI

Manfaat pengetahuan tentang relung bagi aktivitas konservasi adalah dapat menetukan tempat yang sesuai dengan relung asli dari hewan yang akan dipindahkan ke tempat konvervasi, mulai dari kisaran temperatur temapat konservasi, makanan, aktivitas yang dapat dilakukan hewan, kelembaban dan lain-lain. Apabila relung buatan di tempat konservasi sudah sesuai dengan relung asli hewan, maka kegiatan konservasi akan berlangsung dengan baik dan keberlangsungan hidup hewan akan terus berjalan.
       Relung ekologi suatu (individu, populasi) hewan adalah status fungsional hewan itu dalam habitat yang ditempatinya sehubungan dengan adaptasi-adaptasi fisiologis, struktural dan pola perilakunya. Sebuah relung bisa menggambarkan kaitan utilitasi (penggunaan) ruang atau spasial, kosumsi makanan, kisaran temperatur, syarat-syarat yang sesuai untuk reproduksi (kawin), kelembaban, dan faktor-faktor lain. Relung tidak sama dengan habitat, tempat dimana suatu organisme tinggal/hidup (Sukarsono.2012).
    


      Salah satu contoh hewan langka yang ada di Indonesia adalah Komodo. Komodo merupakan hewan endemik Indonesia. Habitat asli komodo ada di pulau komodo, Flores. Komodo menyukai habitat savana, sehingga pulau komodo yang seluruh bagiannya berupa savana sangat sesuai dengan relung ekologi komodo. Relung ekologi komodo adalah tempat yang kering dan luas seperti savana. Pada umumnya habitat komodo memiliki suhu rata-rata harian yang sangat tinggi dengan musim kemarau yang panjang. Komodo yang tersebar di beberapa pulau di Nusa Tenggara Timur hidup pada keadaan topografi yang berbukit-bukit dengan ketinggian maksimum 735 mdpl. Susunan vegetasi didominasi oleh padang savana dengan beberapa tegakan pohon tinggi. Keadaan habitat komodo pada semua tempat hampir sama, dengan suhu rata-rata23o-40oC, kelembaban berkisar antara 45-75 % dan ketinggian 0-600 mdpl. Habitat tersebut memiliki topografi sudut kemiringan 10o-40o. Komodo aktif berburu pada siang hari hingga sore hari, tetapi pada saat cuaca sangat panas komodo akan berteduh pada lubang-lubang yang digalinya. Komodo merupakan hewan yang lebih senang menyendiri, hewan ini akan berkumpul dengan anggotanya hanya pada saat makan dan reproduksi. Komodo memakan mangsanya dengan cara mencabik mangsanya dan menelan langsung dagingnya tanpa dikunyah terlebih dahulu. Musim kawin terjadi antara bulan Mei dan Agustus, dan telur komodo diletakkan pada bulan September.Perilaku menyelisik merupakan perilaku komodo jantan menarik betina untuk menjadi pasangan kawin dengan cara menjilat-jilat dan mencium anggota tubuh bagian belakang,menggaruk/meraba sampai menaiki pasangannya.
Keadaan habitat komodo pada semua tempat hampir sama, dengan suhu rata-rata 23o-40oC, kelembaban berkisar antara 45-75 % dan ketinggian 0-600 mdpl. Habitat tersebut memiliki topografi sudut kemiringan 10o-40o (Mochtar. 1992).

(Mochtar .1992. Komodo, the Living Dragon: The Living Dragon. Salem, Or: DiMI Press. ISBN 0-931625-27-0.)
(Sukarsono. 2012. Ekologi Hewan. Malang: UMM PRESS.)


Belajar KONSEP EKOLOGI HEWAN Dapat Menumbuhkan KARAKTER DAN SIFAT SISWA


      Nilai dan karakter yang harus ditumbuhkan pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam ekologi hewan adalah rasa kasih sayang pada hewan. Dengan memiliki rasa kasih sayang terhadap hewan, maka secara otomatis siswa akan mencari tahu semua tentang hewan tersebut termasuk ekologinya.
       Misalnya dengan cara mengajak untuk memelihara kucing yang terlantar di jalanan. Apabila kita memelihara hewan dan menyayangi hewan tersebut, maka kita akan berusaha untuk mencari tahu mengenai relung ekologi dari kucing tersebut yang merupakan salah satu dari konsep ekologi agar kucing kita pelihara dapat hidup dengan baik.

Pengendalian Biologis dengan Hewan bersifat Parasitisme dan Parasitoidesme

          Parasitisme merupakan bentuk pemangsaan yang dilakukan oleh sekelompok hewan parasit terhadap entuk pemangsaan yang dilakukan oleh hewan parasit terhadap tubuh inangnya. Beberapa ciri khas parasitisme adalah tubuh parasit pada umunya jauh lebih kecil dibandingkan tubuh inangnnya, dalam jangka waktu pendek parasit tidak membunuh inangnya tetapi dalam jangka waktu panjang parasit dapat membunuh inangnya tetapi dalam jangka waktu panjang parasit dapat membunuh inangnya, satu ekor parasit pada umumnya hanya menyerang satu ekor inang selam hidupnya, parasit dapat menyerang inangnya dari dalam (endoparasit) dan dapat juga menyerang dari luar (ektoparasit). Sedikit berbeda dengan parasitisme, maka parasitoidisme merupakan bentuk pemangsaan yang sangat khas yang dilakukan oleh sejenis serangga terhadap jenis serangga yang lain.  
        Aplikasi konsep interaksi populasi, khususnya parasitisme dan parasitoidisme, dalam pengendalian biologis contohnya sekitar 20 tahun lalu di Australia, sebuah serangga predator yaitu kumbang vedalia yang memangsa lalat parasitoid sehingga dapat mencegah meledaknya populasi lalat tersebut.


KONSEP-KONSEP DALAM PENENTUAN HEWAN LANGKAH

   

      Konsep kelimpahan, intensitas dan prevelensi, disperse, fekunditas dan kelulushidupan bermanfaat dalam penetapan hewan langka. Penetapan angka hewan merupakan suatu penetapan jumlah kepadatan hewan pada suatu ekositem. Penetepan angka hewan dipengaruhi oleh kelimpahan, intensitas dan prefelensi, dispersi, fekunditas dan kelulushidupan hewan tersebut. Jadi, jika kelimpahan suatu hewan meningkat maka akan  mempengaruhi intensitas dan preferensi. Suatu spesies hewan yang prevalensinya tinggi dapat lebih sering dijumpai sedangkan spesies yang prevalensinya rendah, yang daerah penyebarannya terbatas hanya ditemui di tempat tertentu. Dari intensitas dan preferensi spesies hewan akan membentuk pola pola dispersi yang diantaranya bergerombol, seragam dan acak. Setelah membentuk pola-pola dispersi akan melakukan fekunditas dan setelah itu hewan akan mengalami persaingan hidup untuk mempertahankan angka kelulushidupan hewan.

Cendrawasih khas Indonesia (langkah)
            Kelimpahan populasi suatu spesies mengandung dua aspek yang berbeda, yaitu aspek intensitas dan aspek prevalensi. Intensitas menunjukkan aspek tinggi rendahnya kerapatan populasi dalam area yang dihuni spesies. Prevalensi menunjukkan jumlah dan ukuran area-area yang ditempati spesies dalam konteks daerah yang lebih luas. Suatu spesies hewan yang prevalensinya tinggi (=prevalen) dapat lebih sering dijumpai. Spesies yang prevalensinya rendah, yang daerah penyebarannya terbatas (terlokalisasi) hanya ditemui di tempat tertentu. Dispersi (Dispersion) merupakan pola penjarakan antar individu dalam perbatasan populasi. Pola dispersi meliputi menggerombol yaitu individu-individu hidup mengelompok dalam topok, seragam atau uniform berjarak sama diakibatkan dari interaksi langsung antara individu-individu dalam populasi, acak (random) yaitu penjarakan yang tidak bisa diprediksi, posisi setiap individu tidak bergantung pada individu lain. Frekunditas Secara umum berarti kemampuan untuk bereproduksi. Dalam biologi, frekunditas adalah laju reproduksi aktual suatu organisme atau populasi yang diukur berdasarkan jumlah gamet, biji, ataupun propagula aseksual. Dalam bidang demografi , frekunditas adalah kapasitas reproduksi potensial suatu individu ataupun populasi. Frekunditas berada dibawah kontrol genetik maupun lingkungan dan merupakan ukuran utama kebugaran biologi suatu spesies. Kelulushidupan Kelulushidupan hewan adalah perbandingan antara jumlah individu yang hidup pada akhir percobaan dengan jumlah individu yang hidup pada awal percobaan. Kelulushidupan juga merupakan peluang hidup dalam suatu saat tertentu. Faktor yang mempengaruhinya adalah biotik (kompetitor, parasit, umur, kepadatan populasi, dan kemampuan adaptasi) dan abiotik (sifat fisika dan sifat kimia dari lingkungan).

KONSEP WAKTU PADA HEWAN

Konsep waktu pada hewan poikiloterm berkaitan dengan suhu lingkungan yang memiliki hubungan linear dengan laju perkembangan serangga. Setiap spesies serangga memiliki kisaran waktu dan suhu optimum untuk dapat hidup dan berkembangbiak. Dengan mengetahui konsep waktu, maka kita dapat memprediksi kapan akan terjadi peningkatan populasi serangga yang dapat terjadi setiap tahun. Dengan demikian dapat dilakukan pencegahan terhadap peningkatan populasi serangga yang berpotensi sebagai hama pertanian.

Seperti pada kasus ulat bulu yang menyerang tanaman mangga di Probolinggo tahun 2010 lalu, peristiwa ini tidak lepas dari konsep waktu-suhu dimana peningkatan populasi ulat bulu yang menyerang tanaman mangga terjadi ketika waktu dan suhu lingkungan di Probolinggo sesuai dengan waktu-suhu optimum perkembangbiakan ulat bulu, sehingga laju perkembangbiakan ulat bulu meningkat dengan cepat.
Dalam kisaran yang tidak mematikan, pengaruh paling penting oleh suhu terhadap hewan poikiloterm dari sudut pandang ekologi adalah pengaruh suhu atas perkembangan dan pertumbuhan. Dalam hal ini langsung tampak adanya hubungan linear antara laju perkembangan jika diplotkan terhadap suhu tubuh. Tampak pula bahwa penyimpangan dari linearitas hubungan tersebut pada suhu terendah dapat diabaikan, dan lagi makhluk yang bersangkutan secara tipikal menghabiskan waktu dibawah suhu tinggi non linear.seringkali secara sederhana dianggap bahwa laju perkembangan bertambah secara linear pada suhu di atas ambang perkembangan. Hewan ektoterm atau poikiloterm tidak dapat dikatakan memerlukan waktu yang lamanya tertentu. Yang mereka perlukan adalah gabungan waktu dengan suhu. Gabungan ini sering disebut sebagai waktu-fisiologik. Pentingnya konsep waktu-suhu terletak di dalam kemampuan konsep itu untuk memberikan pengertian tentang waktu terjadinya sesuatu, dan tentang dinamika populasi hewan ektoterm atau hewan poikiloterm (Soetjipta.1993).


Sondag 26 Mei 2013

KEUNIKAN MAKROFAUNA CACING TANAH

        Cacing tanah merupakan hewan tidak bertulang belakang (Invertebrata) yang digolongkan ke dalam filum Annelida, ordo Oligochaeta, dan kelas Chaetopoda yang hidup dalam tanah. Penggolongan ini didasarkan pada bentuk morfologi karena tubuhnya tersusun atas segmen-segmen yang berbentuk cincin (annulus), setiap segmen memiliki beberapa pasang seta, yaitu struktur berbentuk rambut yang berguna untuk memegang substrat dan bergerak (Edwards dan Lofty, 1977).
Habitat
     Populasi cacing tanah sangat erat hubungannya dengan keadaan lingkungan dimana cacing tanah itu berada. Lingkungan yang dimaksud disini adalah kondisi-kondisi fisik, kimia, biotik dan makanan yang secara bersama-sama dapat mempengaruhi populasi cacing tanah. Faktor-faktor ekologis yang memengaruhi cacing tanah meliputi: (a) keasaman (pH), (b) kelengasan, (c) temperatur, (d) aerasi dan CO2, (e) bahan organik, (f) jenis, dan (g) suplai nutrisi (Arlen, 1984; Hanafiah, dkk.2003).
Cacing tanah umumnya memakan serasah daun dan juga materi tumbuhan lainnya yang telah mati, kemudian dicerna dan dikeluarkan berupa kotoran. Kemampuan hewan ini dalam mengonsumsi serasah sebagai makanannya bergantung pada ketersediaan jenis serasah yang disukainya, disamping itu juga ditentukan oleh kandungan karbon dan nitrogen serasah. (Edwards dan Lofty, 1977).
Morfologi & Anatomi
 Secara alamiah, morfologi dan anatomi cacing tanah berevolusi menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Arlen (1994) menjelaskan bahwa cacing tanah yang ditemukan hidup di tumpukan sampah dan tanah sekitarnya mempunyai ukuran panjang sangat bervariasi, yaitu berkisar antara beberapa milimeter sampai 15 cm atau lebih.
Gambar morfologi cacing tanah dapat dilihat di bawah ini : 
Gambar 1. Morfologi cacing tanah
Secara sistematik, cacing tanah bertubuh tanpa kerangka yang tersusun oleh segmen-segmen fraksi luar dan fraksi dalam yang saling berhubungan secara integral, diselaputi oleh epidermis berupa kutikula (kulit kaku) berpigmen tipis dan seta, kecuali pada dua segmen pertama (bagian mulut), bersifat hemaphrodit (berkelamin ganda) dengan peranti kelamin seadanya pada segmen-segmen tertentu. Apabila dewasa, bagian epidermis pada posisi tertentu akan membengkak membentuk klitelium (tabung peranakan atau rahim), tempat mengeluarkan kokon (selubung bulat) berisi telur dan ova (bakal telur). Setelah kawin (kopulasi), telur akan berkembang di dalamnya dan apabila menetas langsung serupa cacing dewasa. Tubuh dibedakan atas bagian anterior dan posterior. Pada bagian anteriornya terdapat mulut, prostomium dan beberapa segmen yang agak menebal membentuk klitelium (Edwards dan Lofty, 1977; Hanafiah, dkk. 2003).
Secara struktural, cacing tanah mempunyai rongga besar coelomic yang mengandung coelomycetes (pembuluh-pembuluh mikro), yang merupakan sistem vaskuler tertutup. Saluran makanan berupa tabung anterior dan posterior, kotoran dikeluarkan lewat anus atau peranti khusus yang disebut nephridia. Respirasi (pernapasan) terjadi melalui kutikuler (Hanafiah, dkk.2003).
Keunikan & Manfaat
Telah banyak bukti yang menunjukkan bahwa cacing tanah merupakan makrofauna tanah yang berperan penting sebagai penyelaras dan keberlangsungan ekosistem yang sehat, baik bagi biota tanah lainnya maupun bagi hewan dan manusia. Aristoteles mengemukakan pentingnya cacing tanah dalam mereklamasi tanah dan menyebutnya sebagai “usus bumi” (intestines of the earth) (Hanafiah, dkk.2003).
Cacing tanah selama ini diketahui sebagai makhluk yang berguna untuk menyuburkan tanah dan makanan ternak. Cacing tanah memiliki manfaat yang sangat besar, seperti di Korea selatan dan Taiwan cacing telah dikonsumsi oleh manusia untuk sumber protein hewani dan pengobatan tradisional, yang sangat di kenal sebagai Negara yang banyak mengekspor cacing tanah (Arlen,H.J, 1994).
Salah satu indikator hewan yang dapat digunakan sebagai monitoring kondisi lingkungan adalah cacing tanah ( Lumbricus terrestris). Jika suatu tanah tidak terdapat adanya hewan cacing menandakan bahwa tanah tersebut kering tandus dan kurang subur untuk digunakan sebagai lahan pertanian maupun perkebunan. Hal ini juga diperkuat dengan habitat cacing memiliki pH netral, dimana tingkat asam-basa yang netral sesuai untuk proses pertumbuhan tanaman.
Cacing berperan penting dalam penyuburan tanah dengan cara membuat lubang-lubang dalam tanah dan  menghancurkan bahan organik sehingga memperbaiki aerasi dan struktur tanah. Akibatnya lahan menjadi subur dan penyerapan nutrisi oleh tanaman menjadi baik. Keberadaan cacing tanah akan meningkatkan populasi mikroba yang menguntungkan tanaman. Bahkan Aristoteles mengemukakan pentingnya cacing tanah dalam mereklamasi tanah dan menyebutnya sebagai “usus bumi” (intestines of the earth).
Keberadaan cacing tanah pada tanah tropika basah akan mampu memperbaiki kesuburan fisik-kimia dan biologi tanah yang selanjutnya juga akan meningkatkan produksi pertanian (Subowo,Peneliti BPTP Sumsel, Ketua Komisi Pangan DRD Sumsel) http://balitbangnovda.sumselprov.go.id/data/download/2bab1.pdf
Berdasarkan jurnal online Syekhfani (2013) bahwasanya lubang yang dibuat cacing tanah meningkatkan infiltrasi air dan aerasi tanah. Saluran dibuat cacing tanah dapat meningkatkan masuk air ke dalam tanah 4 hingga 10 kali lebih tinggi dibanding tanpa saluran cacing (http://syekhfanismd.lecture.ub.ac.id/files/2013/03/CACING-TANAH.pdf)
·         Keadaan ini mengurangi aliran permukaan, mengisi ulang air tanah, dan pengisian ulang stok air tanah untuk musim kering.
·         Lubang cacing vertikal menyalurkan unsur hara ke bagian lebih dalam. Pengolahan tanah oleh cacing tanah dapat mensubstitusi pengolahan tanah mahal oleh mesin.
·         Cacing makan sisa tanaman mati di bagian atas tanah dan mendistribuasikan unsur hara dan bahan organik ke lapisan tanah lebih dalam. Bahan organik kaya unsur hara diletakkan dalam saluran tanah dan dibiarkan bertahun-tahun jika tidak diganggu.
·         Selama musim kering saluran ini memberi peluang penetrasi akar tanaman ke lapisan tanah lebih dalam yang mempunyai kelembaban tinggi.
·         Sebagai tambahan terhadap bahan organik, cacing juga mengkonsumsi tanah dan mikroorganisme tanah yang dipindah ke bagian atas tanah.
·         Gumpalan tanah kaya hara dan organisme tersebut dikenal sebagai ‘kotoran cacing’ atau ‘kascing’.
·         Ukuran kascing beragam sesuai jenis cacing tanah yang mengeluarkan, bisa sebesar sawi atau benih gandum.

           
Untuk pemanfaatnya dapat membuat kompos alami dengan bantuan cacing sebagai hewan dekomposer yang mengurai bahan-bahan organik, penggunaan cacing dapat mempercepat proses pembuatan kompos yaitu : dengan cara menampung bahan-bahan organik (daun, sisa makanan dan kotoran hewan) dalam bak penampung, menambahkan beberapa karung tanah, menaruh cacing tanah pada bak penampungan, membirakan beberapa hari, kompos siap digunakan dalam pertanian dan perkebunan.
Menurut Warsana, SP.M.Si (2009) mengatakan bahwa ada kecenderungan, selama ini petani hanya bergantung pada pupuk anorganik atau pupuk kimia untuk mendukung usahataninya. Untuk mengantisipasi terjadinya kekosongan pupuk organik kini ditemukan beberapa aktivator yang dapat mempercepat proses pengomposan sehingga kontinuitas produksi pupuk organik lebih terjamin. Kompos cacing tanah atau terkenal dengan casting yaitu proses pengomposan juga dapat melibatkan organisme makro seperti cacing tanah. Kerjasama antara cacing tanah dengan mikro organisme memberi dampak proses penguraian yang berjalan dengan baik. Walaupun sebagian besar proses penguraian dilakukan mikroorganisme, tetapi kehadiran cacing tanah dapat membantu proses tersebut karena bahan-bahan yang akan diurai oleh mikroorganisme telah diurai lebih dahulu oleh cacing. Dengan demikian, kerja mikroorganisme lebih efektif dan lebih cepat. Hasil dari proses vermikomposting ini berupa casting. Ada juga orang mengatakan bahwa casting merupakan kotoran cacing yang dapat berguna untuk pupuk. Casting ini mengandung partikel-p artikel kecil dari bahan organik yang dimakan cacing dan kemudian dikeluarkan lagi. Kandungan casting tergantung pada bahan organik dan jenis cacingnya. Namun umumnya casting mengandung unsur harayang dibutuhkan tanaman seperti nitrogen, fosfor, mineral, vitamin. Karenamengandung unsur hara yang lengkap,apalagi nilai C/N nya kurang dari 20 maka casting dapat di gunakan sebagai pupuk  

Cara Pembuatan
Ada dua cara pembuatan casting (Warsana, SP.M.Si 2009).
Cara pertama, dalam cara ini perlu dipersiapkan mengenai cacingnya, bahan yang dikomposkan, dan lokasi pengomposan. Setelah semuanya disiapkan, tinggal proses pengomposan.
- Pengadaan cacing tanah
         Jumlah cacing yang diperlukan belum ada patokan. Ada yang menggunakan pedoman bahwa setiap meter persegi dengan ketebalan media 5-10 cm dibutuhkan sekitar 2000 ekor cacing atau luas 0,1 m2 dibituhkan 100 gram cacing tanah. Perlu diketahui bahwa dalam satu hari cacing tanah akan memakan makanan seberat tubuhnya, misalnya bobot cacing 1 gram maka dalam satu hari cacing akan memakan 1 gram makanan.
- Bahan
Bahan yang digunakan berupa anorganik (limbah organik), seperti sisa sayursayuran, dedaunan atau kotoran hewan. Dengan demikian proses pengomposancara ini mempunyai beberapa keuntungan yaitu dapat mengurangi pencemaran lingkungan, menghasilkan pupuk organik dan menghasilkan pupuk organik dan menghasilkan cacing yang menjadi sumber protein hewani bila digunakansebagai pakan ternak. Bahan organik ini tidak dapat langsung digunakan atau diberikan kepada cacing, tetapi harus dikomposkan atau difermentasikan. Caranya yaitu dibiarkan sekitar1 minggu. Selain bahan organik yang diberikan pada awal sebagai media, diperlukan juga makanan tambahan untuk menghindari makanan yang asam karena berbahaya bagi cacing. Makanan tambahan ini dapat berupa kotoran hewan atau sisa tanaman yang telah dihaluskan.
- Wadah
            Wadah yang digunakan untuk budidaya cacing maupun pembuatan casting dapat berupa kayu, plastik, atau hanya berupa lubang-lubang dalam tanah. Perlu diperhatikan, wadah tersebut tidak terbuat dari logam atau alumunium yang dapat membahayakan cacing. Beberapa bahan serta ukuran yang biasa dibuat untuk wadah pembudidayaan cacing yaitu: kotak kayu berukuran 60 x 45 x 15 cm3, lubang tanah berukuran 8 x 0,2 m3, drum berdiameter 100 cm, tinggi 45 cm.
Proses Pengomposan
1.  Limbah organik seperti sampah daun atau sayuran ditumpuk dan dibiarkan agar gas yang dihasilkan hilang. Tumpukan itu disiram air setiap hari dan dibalik minimal 3 hari sekali. Proses ini dilakukan sekitar 1 minggu.
2. Setelah sampah tidak panas (suhu normal), tempatkan di wadah yang telah disediakan. Akan lebih baik bila dicampur dengan kotoran hewan yang tidak baru dan tidak kadaluwarsa. Pencampuran kotoran hewan ini dimaksudkan untuk menambah unsur hara bagi pupuk yang dihasilkan. Setiap hari ditambahkan makanan tambahan berupa kotoran hewan yang telah diencerkan seberat cacing yang dipelihara, misalnya cacing 1 gram maka makanan tambahan yang ditambahkan juga 1 gram.
3.  Proses pengomposan ini diakhiri setelah bahan menjadi remah dan terdapat butir-butir kecil lonjong yang sebenarnya merupakan kotoran cacing. Hasil kompos ini juga tidak berbau.
4. Setelah cacing jadi, cacing dipisahkan dari casting secara manual yaitu dengan bantuan tangan. Hasil casting dikering anginkan sebelum dikemas. Casting dari proses ini ternyata mengandung komponen biologis dan khemis. Komponen biologis yang terkandung yaitu bakteri, actinonmycetes, jamur, dan zat pengatur tumbuh (giberelin, sitokini dan auksin). Adapun komponen kimianya yaitu pH 6,5 – 7,4, nitrogen 1,1 – 4%, fosfor 0,3 – 3,5%, kalium 0,2 – 2,1%, belerang 0,24 – 0,63%, mangnesium 0,3 – 0,6%, dan besi 0,4 – 1,6%.

Cara kedua, Cara ini dilakukan dengan cara: cacing yang berperan dalam proses ini sangat spesifik karena hanya menguraikan kotoran kerbau dan tidak dapat menguraikan jenis bahan organik lain, seperti kotoran sapi, kambing, jerami, sayuran maupun dedaunan. Apabila berada dalam bahan organik selain kotoran kerbau, cacing jenis ini akan mati. Jenis cacing yang berasal dari taiwan ini belum diketahui sifat pastinya yang jelas, cacing ini mempunyai ukuran yang relatif kecil dibandingkan jenis cacing pada umumnya, rata-rata sepanjang korek api, tubuhnya berwarna merah. Karena cacing ini hanya menguraikan kotoran kerbau, maka bahan utama untuk casting ini adalah kotoran kerbau. Kotoran yang baik untuk dikomposkan kirakira telah dibiarkan seminggu. Apabila kurang dari seminggu, kotoran terlalu lembab. Namun apa bila terlalu lama maka kotoran terlalu kering (kelembabannya kurang). Tempat pengomposan sebaiknya beralas semen dan ternaungi dari sinar matahari maupun air hujan. Ingat cacing tidak tahan sinar matahari langsung.
Tahap-tahap pengomposan sebagai berikut:
1. Cacing (biasanya dengan medianya) dicampur dan diletakkan diantara kotoran kerbau. Kotoran yang telah berisi cacing diletakkan dibentuk seperti bedengan dengan lebar 60 cm, tinggi kurang lebih 15 dan panjang tergantung bahan dan lokasi. Apabila kotoran ini terlalu kering karena telah lama dibiarkan (lebih dari seminggu), sebaiknya kotoran ditutup dengan karung goni untuk menjaga kelembaban.
2. Setelah 2-3 minggu, bedengan kotoran tersebut agak diratakan sehingga permukaan menjadi lebar kurang lebih 1 m. Perlakuan ini untuk meratakan cacing juga.
3. Setelah 2-3 minggu, bedengan dikumpulkan lagi seperti nomor 2. Pada saat ini kotoran tidak menggumpal lagi, sebagian besar telah berubah menjadi gembur (remah). Pada tahap ini, disisi kiri dan kanan bedengan diberi tumpukan kotoran kerbau lagi. Hal ini dilakukan karena cacing yang telah selesai memakan kotoran yang pertama akan mencari makanan yang baru yaitu kotoran yang baru diletakkan. Proses ini diperkirakan berlangsung selama 1 minggu.
4. Kotoran dalam bedengan 1 akan bertambah gembur, remah, lebih kering,dan tidak berbau tidak ada yang menggumpal. Kotoran kerbau yang telah menjadi casting ini disaring dengan saringan pasir sehingga diperoleh hasil casting yang halus. Sisa dari penyaringan, berupa tanah atau jerami yang tidak tersaring sebaiknya dibuang atau disisihkan.
5. Pada tahap ini kemungkinan masih ada casting yang lolos dari saringan sehingga perlu dikeluarkan. Caranya yaitu dengan meletakkan kotorankerbau yang masih bongkahan disisi atau disekitar gundukan. Tunggu sekitar 1 minggu. Dalam waktu tersebut diharapkan cacing akan keluar dari gundukan casting dan berpindah ke kotoran kerbau yang baru.
6. Casting yang telah disaring dapat disaring lagi agar hasil yang diperoleh lebih bagus. Adapun kotoran yang telah berisi casting dipisahkan untuk diproses menjadi casting seperti no.2. Casting yang telah jadi dikemas dengan plastik.