Cacing tanah merupakan
hewan tidak bertulang belakang (Invertebrata) yang digolongkan ke dalam
filum Annelida, ordo Oligochaeta, dan kelas Chaetopoda yang
hidup dalam tanah. Penggolongan ini didasarkan pada bentuk morfologi karena
tubuhnya tersusun atas segmen-segmen yang berbentuk cincin (annulus),
setiap segmen memiliki beberapa pasang seta, yaitu struktur berbentuk rambut
yang berguna untuk memegang substrat dan bergerak (Edwards dan Lofty, 1977).
Habitat
Populasi cacing tanah sangat erat
hubungannya dengan keadaan lingkungan dimana cacing tanah itu berada.
Lingkungan yang dimaksud disini adalah kondisi-kondisi fisik, kimia, biotik dan
makanan yang secara bersama-sama dapat mempengaruhi populasi cacing tanah.
Faktor-faktor ekologis yang memengaruhi cacing tanah meliputi: (a) keasaman
(pH), (b) kelengasan, (c) temperatur, (d) aerasi dan CO2, (e) bahan organik,
(f) jenis, dan (g) suplai nutrisi (Arlen, 1984; Hanafiah, dkk.2003).
Cacing tanah umumnya
memakan serasah daun dan juga materi tumbuhan lainnya yang telah mati, kemudian
dicerna dan dikeluarkan berupa kotoran. Kemampuan hewan ini dalam mengonsumsi
serasah sebagai makanannya bergantung pada ketersediaan jenis serasah yang
disukainya, disamping itu juga ditentukan oleh kandungan karbon dan nitrogen serasah.
(Edwards dan Lofty, 1977).
Morfologi
& Anatomi
Secara alamiah, morfologi dan anatomi cacing
tanah berevolusi menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Arlen (1994)
menjelaskan bahwa cacing tanah yang ditemukan hidup di tumpukan sampah dan
tanah sekitarnya mempunyai ukuran panjang sangat bervariasi, yaitu berkisar
antara beberapa milimeter sampai 15 cm atau lebih.
Gambar morfologi cacing tanah dapat
dilihat di bawah ini :
Gambar 1. Morfologi cacing
tanah
Secara
sistematik, cacing tanah bertubuh tanpa kerangka yang tersusun oleh
segmen-segmen fraksi luar dan fraksi dalam yang saling berhubungan secara
integral, diselaputi oleh epidermis berupa kutikula (kulit kaku) berpigmen
tipis dan seta, kecuali pada dua segmen pertama (bagian mulut), bersifat hemaphrodit
(berkelamin ganda) dengan peranti kelamin seadanya pada segmen-segmen
tertentu. Apabila dewasa, bagian epidermis pada posisi tertentu akan membengkak
membentuk klitelium (tabung peranakan atau rahim), tempat mengeluarkan kokon
(selubung bulat) berisi telur dan ova (bakal telur). Setelah kawin
(kopulasi), telur akan berkembang di dalamnya dan apabila menetas langsung
serupa cacing dewasa. Tubuh dibedakan atas bagian anterior dan posterior.
Pada bagian anteriornya terdapat mulut, prostomium dan beberapa segmen yang
agak menebal membentuk klitelium (Edwards dan Lofty, 1977; Hanafiah,
dkk. 2003).
Secara
struktural, cacing tanah mempunyai rongga besar coelomic yang mengandung
coelomycetes (pembuluh-pembuluh mikro), yang merupakan sistem vaskuler
tertutup. Saluran makanan berupa tabung anterior dan posterior, kotoran
dikeluarkan lewat anus atau peranti khusus yang disebut nephridia.
Respirasi (pernapasan) terjadi melalui kutikuler (Hanafiah, dkk.2003).
Keunikan
& Manfaat
Telah banyak bukti
yang menunjukkan bahwa cacing tanah merupakan makrofauna tanah yang berperan
penting sebagai penyelaras dan keberlangsungan ekosistem yang sehat, baik bagi
biota tanah lainnya maupun bagi hewan dan manusia. Aristoteles mengemukakan
pentingnya cacing tanah dalam mereklamasi tanah dan menyebutnya sebagai “usus
bumi” (intestines of the earth) (Hanafiah, dkk.2003).
Cacing
tanah selama ini diketahui sebagai makhluk yang berguna untuk menyuburkan tanah
dan makanan ternak. Cacing tanah memiliki manfaat yang sangat besar, seperti di
Korea selatan dan Taiwan cacing telah dikonsumsi oleh manusia untuk sumber
protein hewani dan pengobatan tradisional, yang sangat di kenal sebagai Negara
yang banyak mengekspor cacing tanah (Arlen,H.J, 1994).
Salah satu indikator
hewan yang dapat digunakan sebagai monitoring kondisi lingkungan adalah cacing
tanah ( Lumbricus terrestris). Jika
suatu tanah tidak terdapat adanya hewan cacing menandakan bahwa tanah tersebut
kering tandus dan kurang subur untuk digunakan sebagai lahan pertanian maupun
perkebunan. Hal ini juga diperkuat dengan habitat cacing memiliki pH netral,
dimana tingkat asam-basa yang netral sesuai untuk proses pertumbuhan tanaman.
Cacing berperan penting dalam penyuburan tanah dengan cara membuat
lubang-lubang dalam tanah dan menghancurkan
bahan organik sehingga memperbaiki aerasi dan struktur tanah. Akibatnya lahan
menjadi subur dan penyerapan nutrisi oleh tanaman menjadi baik. Keberadaan
cacing tanah akan meningkatkan populasi mikroba yang menguntungkan tanaman.
Bahkan Aristoteles
mengemukakan pentingnya cacing tanah dalam mereklamasi tanah dan menyebutnya
sebagai “usus bumi” (intestines of the earth).
·
Keadaan ini mengurangi aliran permukaan, mengisi
ulang air tanah, dan pengisian ulang stok air tanah untuk musim kering.
·
Lubang cacing vertikal menyalurkan unsur hara ke
bagian lebih dalam. Pengolahan tanah oleh cacing tanah dapat mensubstitusi
pengolahan tanah mahal oleh mesin.
·
Cacing makan sisa tanaman mati di bagian atas
tanah dan mendistribuasikan unsur hara dan bahan organik ke lapisan tanah lebih
dalam. Bahan organik kaya unsur hara diletakkan dalam saluran tanah dan
dibiarkan bertahun-tahun jika tidak diganggu.
·
Selama musim kering saluran ini memberi peluang
penetrasi akar tanaman ke lapisan tanah lebih dalam yang mempunyai kelembaban
tinggi.
·
Sebagai tambahan terhadap bahan organik, cacing
juga mengkonsumsi tanah dan mikroorganisme tanah yang dipindah ke bagian atas
tanah.
·
Gumpalan tanah kaya hara dan organisme tersebut
dikenal sebagai ‘kotoran cacing’ atau ‘kascing’.
·
Ukuran kascing beragam sesuai jenis cacing tanah
yang mengeluarkan, bisa sebesar sawi atau benih gandum.
Untuk pemanfaatnya dapat membuat kompos alami dengan
bantuan cacing sebagai hewan dekomposer yang mengurai bahan-bahan organik,
penggunaan cacing dapat mempercepat proses pembuatan kompos yaitu : dengan cara
menampung bahan-bahan organik (daun, sisa makanan dan kotoran hewan) dalam bak
penampung, menambahkan beberapa karung tanah, menaruh cacing tanah pada bak
penampungan, membirakan beberapa hari, kompos siap digunakan dalam pertanian
dan perkebunan.
Menurut
Warsana, SP.M.Si (2009) mengatakan bahwa ada kecenderungan, selama ini petani
hanya bergantung pada pupuk anorganik atau pupuk kimia untuk mendukung usahataninya.
Untuk mengantisipasi terjadinya kekosongan pupuk organik kini ditemukan
beberapa aktivator yang dapat mempercepat proses pengomposan sehingga
kontinuitas produksi pupuk organik lebih terjamin. Kompos cacing tanah atau
terkenal dengan casting yaitu proses pengomposan juga dapat melibatkan
organisme makro seperti cacing tanah. Kerjasama antara cacing tanah dengan
mikro organisme memberi dampak proses penguraian yang berjalan dengan baik.
Walaupun sebagian besar proses penguraian dilakukan mikroorganisme, tetapi
kehadiran cacing tanah dapat membantu proses tersebut karena bahan-bahan yang
akan diurai oleh mikroorganisme telah diurai lebih dahulu oleh cacing. Dengan
demikian, kerja mikroorganisme lebih efektif dan lebih cepat. Hasil dari proses
vermikomposting ini berupa casting. Ada juga orang mengatakan bahwa casting
merupakan kotoran cacing yang dapat berguna untuk pupuk. Casting ini mengandung
partikel-p artikel kecil dari bahan organik yang dimakan cacing dan kemudian
dikeluarkan lagi. Kandungan casting tergantung pada bahan organik dan jenis
cacingnya. Namun umumnya casting mengandung unsur harayang dibutuhkan tanaman
seperti nitrogen, fosfor, mineral, vitamin. Karenamengandung unsur hara yang
lengkap,apalagi nilai C/N nya kurang dari 20 maka casting dapat di gunakan
sebagai pupuk
Cara Pembuatan
Ada dua cara pembuatan casting (Warsana, SP.M.Si 2009).
Cara pertama, dalam cara ini perlu dipersiapkan
mengenai cacingnya, bahan yang dikomposkan, dan lokasi pengomposan. Setelah
semuanya disiapkan, tinggal proses pengomposan.
- Pengadaan cacing tanah
Jumlah cacing yang diperlukan belum ada patokan. Ada yang menggunakan pedoman
bahwa setiap meter persegi dengan ketebalan media 5-10 cm dibutuhkan sekitar
2000 ekor cacing atau luas 0,1 m2 dibituhkan 100 gram cacing tanah. Perlu
diketahui bahwa dalam satu hari cacing tanah akan memakan makanan seberat
tubuhnya, misalnya bobot cacing 1 gram maka dalam satu hari cacing akan memakan
1 gram makanan.
- Bahan
Bahan yang digunakan berupa anorganik (limbah
organik), seperti sisa sayursayuran, dedaunan atau kotoran hewan. Dengan
demikian proses pengomposancara ini mempunyai beberapa keuntungan yaitu dapat
mengurangi pencemaran lingkungan, menghasilkan pupuk organik dan menghasilkan
pupuk organik dan menghasilkan cacing yang menjadi sumber protein hewani bila digunakansebagai
pakan ternak. Bahan organik ini tidak dapat langsung digunakan atau diberikan
kepada cacing, tetapi harus dikomposkan atau difermentasikan. Caranya yaitu
dibiarkan sekitar1 minggu. Selain bahan organik yang diberikan pada awal
sebagai media, diperlukan juga makanan tambahan untuk menghindari makanan yang
asam karena berbahaya bagi cacing. Makanan tambahan ini dapat berupa kotoran
hewan atau sisa tanaman yang telah dihaluskan.
- Wadah
Wadah
yang digunakan untuk budidaya cacing maupun pembuatan casting dapat berupa
kayu, plastik, atau hanya berupa lubang-lubang dalam tanah. Perlu diperhatikan,
wadah tersebut tidak terbuat dari logam atau alumunium yang dapat membahayakan
cacing. Beberapa bahan serta ukuran yang biasa dibuat untuk wadah pembudidayaan
cacing yaitu: kotak kayu berukuran 60 x 45 x 15 cm3, lubang tanah berukuran 8 x
0,2 m3, drum berdiameter 100 cm, tinggi 45 cm.
Proses Pengomposan
1. Limbah organik seperti sampah daun
atau sayuran ditumpuk dan dibiarkan agar gas yang dihasilkan hilang. Tumpukan
itu disiram air setiap hari dan dibalik minimal 3 hari sekali. Proses ini
dilakukan sekitar 1 minggu.
2. Setelah sampah tidak panas (suhu normal), tempatkan di wadah yang telah disediakan.
Akan lebih baik bila dicampur dengan kotoran hewan yang tidak baru dan tidak
kadaluwarsa. Pencampuran kotoran hewan ini dimaksudkan untuk menambah unsur
hara bagi pupuk yang dihasilkan. Setiap hari ditambahkan makanan tambahan
berupa kotoran hewan yang telah diencerkan seberat cacing yang dipelihara, misalnya
cacing 1 gram maka makanan tambahan yang ditambahkan juga 1 gram.
3. Proses pengomposan ini diakhiri
setelah bahan menjadi remah dan terdapat butir-butir kecil lonjong yang
sebenarnya merupakan kotoran cacing. Hasil kompos ini juga tidak berbau.
4. Setelah cacing jadi, cacing dipisahkan dari casting secara manual yaitu dengan
bantuan tangan. Hasil casting dikering anginkan sebelum dikemas. Casting dari
proses ini ternyata mengandung komponen biologis dan khemis. Komponen biologis
yang terkandung yaitu bakteri, actinonmycetes, jamur, dan zat pengatur tumbuh
(giberelin, sitokini dan auksin). Adapun komponen kimianya yaitu pH 6,5 – 7,4,
nitrogen 1,1 – 4%, fosfor 0,3 – 3,5%, kalium 0,2 – 2,1%, belerang 0,24 – 0,63%,
mangnesium 0,3 – 0,6%, dan besi 0,4 – 1,6%.
Cara kedua, Cara ini dilakukan dengan cara: cacing yang berperan dalam proses ini
sangat spesifik karena hanya menguraikan kotoran kerbau dan tidak dapat
menguraikan jenis bahan organik lain, seperti kotoran sapi, kambing, jerami,
sayuran maupun dedaunan. Apabila berada dalam bahan organik selain kotoran
kerbau, cacing jenis ini akan mati. Jenis cacing yang berasal dari taiwan ini
belum diketahui sifat pastinya yang jelas, cacing ini mempunyai ukuran yang
relatif kecil dibandingkan jenis cacing pada umumnya, rata-rata sepanjang korek
api, tubuhnya berwarna merah. Karena cacing ini hanya menguraikan kotoran
kerbau, maka bahan utama untuk casting ini adalah kotoran kerbau. Kotoran yang
baik untuk dikomposkan kirakira telah dibiarkan seminggu. Apabila kurang dari
seminggu, kotoran terlalu lembab. Namun apa bila terlalu lama maka kotoran
terlalu kering (kelembabannya kurang). Tempat pengomposan sebaiknya beralas
semen dan ternaungi dari sinar matahari maupun air hujan. Ingat cacing tidak
tahan sinar matahari langsung.
Tahap-tahap pengomposan sebagai berikut:
1. Cacing (biasanya dengan medianya) dicampur dan diletakkan diantara kotoran
kerbau. Kotoran yang telah berisi cacing diletakkan dibentuk seperti bedengan
dengan lebar 60 cm, tinggi kurang lebih 15 dan panjang tergantung bahan dan
lokasi. Apabila kotoran ini terlalu kering karena telah lama dibiarkan (lebih
dari seminggu), sebaiknya kotoran ditutup dengan karung goni untuk menjaga
kelembaban.
2. Setelah 2-3 minggu, bedengan kotoran tersebut agak diratakan sehingga permukaan
menjadi lebar kurang lebih 1 m. Perlakuan ini untuk meratakan cacing juga.
3. Setelah 2-3 minggu, bedengan dikumpulkan lagi seperti nomor 2. Pada saat ini
kotoran tidak menggumpal lagi, sebagian besar telah berubah menjadi gembur (remah).
Pada tahap ini, disisi kiri dan kanan bedengan diberi tumpukan kotoran kerbau
lagi. Hal ini dilakukan karena cacing yang telah selesai memakan kotoran yang
pertama akan mencari makanan yang baru yaitu kotoran yang baru diletakkan.
Proses ini diperkirakan berlangsung selama 1 minggu.
4. Kotoran dalam bedengan 1 akan bertambah gembur, remah, lebih kering,dan
tidak berbau tidak ada yang menggumpal. Kotoran kerbau yang telah menjadi
casting ini disaring dengan saringan pasir sehingga diperoleh hasil casting
yang halus. Sisa dari penyaringan, berupa tanah atau jerami yang tidak
tersaring sebaiknya dibuang atau disisihkan.
5. Pada tahap ini kemungkinan masih ada casting yang lolos dari saringan sehingga
perlu dikeluarkan. Caranya yaitu dengan meletakkan kotorankerbau yang masih
bongkahan disisi atau disekitar gundukan. Tunggu sekitar 1 minggu. Dalam waktu
tersebut diharapkan cacing akan keluar dari gundukan casting dan berpindah ke
kotoran kerbau yang baru.
6. Casting yang telah disaring dapat disaring lagi agar hasil yang diperoleh
lebih bagus. Adapun kotoran yang telah berisi casting dipisahkan untuk diproses
menjadi casting seperti no.2. Casting yang telah jadi dikemas dengan plastik.